A.
DEFINISI
ð SLE merupakan penyakit
radang atau inflamasi multisystem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg
and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem
imun berupa peningkatan sistem imun
dan produksi autoantibodi
yang berlebihan (Albar, 2003).
ð Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen
(Epstein, 1998).
B.
ETIOLOGI
Faktor genetik
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit
SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree
relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar
identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%).
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain
haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan
pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2,
serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar,
2003) .
Faktor
lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga
menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu
khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine
dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan
SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga
menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan
antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan
memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
C.
KLASIFIKASI
Penyakit Lupus
dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk
lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut
di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2.
Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor
(Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap
dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan
fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3.
Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan
oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen
HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di
tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.
Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000).
Tabel II.1 Obat
yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).
Definitely
|
Possible
|
Unlikely
|
Hidralazin
Prokainamid
Isoniazid
Klorpromazin
Metildopa
|
Antikonvulsan
Propitiourasil
Fenitoin
Metimazol
Karbamazepin
Penisilinamin
Asam valproat
Sulfasalazin
Etosuksimid
Sulfonamid
β-bloker
Nitrofurantoin
Propranolol
Levodopa
Metoprolol
Litium
Labetalol
Simetidin
Acebutolol
Takrolimus
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Kontrasepsi oral
|
Griseofulvin
Penisilin
Garam emas
|
Ket : definitely
: tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah
D.
PATOFISIOLOGI
Pada pasien SLE
terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan
jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T
dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal
dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid
dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini
dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi
peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan
sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen.
Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan
sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan
profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung
cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu
sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang
berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated
immunity.
Sel T pada SLE
juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya
respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan
ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas
dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi
limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring
dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B
yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan
dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami
peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001).
Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel
B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan
akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai
dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan
CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang
jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal
yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam
menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya
kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-)
mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003).
Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu
jaringan tertentu dan merupakan komponen
integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan
organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti
DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen
jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan
teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan
menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau
autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan
menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan
jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem
imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan
kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa
(Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1
dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya
ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi
komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan
meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi
kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga
terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang
menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,
pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien
SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel
keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi
apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan
oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi
inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara
normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar
membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan
komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor
membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),
reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan
pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan
autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang
akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang
dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang
disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
E.
KRITERIA SLE
Pada tahun
1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru
untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini
mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu
periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1.
Ruam malar : eritema persisten, datar
atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
2.
Ruam diskoid : bercak eritematosa yang
meninggi dengan sisik
keratin yang melekat dan
sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
3.
Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit
akibat abnormalitas
terhadap
cahaya matahari.
4.
Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau
nasofaring, umumnya tidak nyeri.
5.
Artritis : artritis nonerosif yang
mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.
6.
Serositis
a.
Pleuritis : adanya riwayat nyeri
pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.
b.
Perikarditis : diperoleh dari gambaran
EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.
7.
Kelainan ginjal
a.
Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL
atau lebih dari 3+
b.
Ditemukan eritrosit, hemoglobin
granular, tubular, atau campuran.
8.
Kelainan neurologis : kejang tanpa
sebab atau psikosis tanpa sebab.
9.
Kelainan hematologik : anemia hemolitik
atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau limfopenia (kurang
dari 1500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3)
tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.
10. Kelainan
imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi
antifosfolipid.
11. Antibodi
antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau
pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi
sindroma lupus (Delafuente, 2002).
F.
TANDA DAN
GEJALA
SLE adalah salah satu dari
beberapa penyakit yang dikenal sebagai " peniru hebat "karena sering meniru atau keliru
untuk penyakit lainnya. SLE adalah barang klasik dalam diagnosis diferensial, karena gejala lupus sangat bervariasi
dan datang dan pergi tak terduga. Diagnosis demikian dapat sulit dipahami,
dengan beberapa orang yang menderita gejala yang tidak jelas dari SLE yang
tidak diobati selama bertahun-tahun.
Keluhan awal dan kronis umum
termasuk demam, malaise, nyeri sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya kemampuan kognitif sementara.
Karena mereka begitu sering terlihat dengan penyakit lain, tanda-tanda dan
gejala bukan merupakan bagian dari kriteria diagnostik untuk SLE. Ketika
terjadi dalam hubungannya dengan tanda-tanda lain dan gejala (lihat di bawah),
namun, mereka dianggap sugestif.
1.
Dermatologis
manifestasi
Sebanyak 30% dari penderita memiliki beberapa gejala dermatologi (dan 65%
menderita gejala seperti di beberapa titik), dengan 30% sampai 50% menderita
dari klasik ruam malar (atau ruam kupu-kupu ) yang berhubungan dengan penyakit. Beberapa mungkin menunjukkan tebal,
bersisik bercak merah di kulit (disebut sebagai lupus diskoid). Alopecia , mulut , hidung, saluran kemih dan vagina bisul, dan lesi pada kulit juga manifestasi
mungkin. Air mata kecil dalam jaringan halus di sekitar mata bisa terjadi
setelah menggosok bahkan minim.
2.
Musculoskeletal
Perhatian medis yang paling sering dicari adalah untuk nyeri sendi , dengan sendi-sendi kecil dari tangan
dan pergelangan tangan biasanya terpengaruh, meskipun semua sendi beresiko. The Lupus Foundation of America memperkirakan lebih dari 90 persen dari
mereka yang terkena akan mengalami nyeri sendi dan / atau otot pada beberapa
waktu selama perjalanan penyakit mereka. Tidak seperti rheumatoid arthritis , arthritis
lupus kurang mematikan dan biasanya tidak menyebabkan kerusakan parah sendi.
Kurang dari sepuluh persen orang dengan arthritis lupus akan mengembangkan
kelainan bentuk tangan dan kaki. SLE pasien berada pada risiko tertentu
mengembangkan osteoarticular tuberkulosis .
Sebuah hubungan yang mungkin
antara rheumatoid arthritis dan lupus telah menyarankan, dan SLE mungkin berhubungan dengan peningkatan
risiko patah tulang pada wanita yang relatif muda.
3.
Hematologi
Anemia dapat berkembang pada sampai dengan 50%
kasus. Rendah trombosit dan sel darah putih jumlah mungkin karena penyakit atau efek
samping pengobatan farmakologi. Orang dengan SLE mungkin
memiliki hubungan dengan sindrom
antifosfolipid antibodi
(gangguan trombotik), dimana autoantibodi untuk fosfolipid yang hadir dalam
serum mereka. Kelainan yang berhubungan dengan sindrom antifosfolipid antibodi termasuk berkepanjangan paradoks waktu tromboplastin parsial (yang biasanya terjadi dalam gangguan hemoragik)
dan tes positif untuk antibodi antifosfolipid, kombinasi dari temuan tersebut
telah mendapatkan "istilah lupus antikoagulan positif ". Temuan lain autoantibody
pada SLE adalah antibodi anticardiolipin , yang dapat menyebabkan tes positif palsu untuk sifilis .
4.
Jantung
Seseorang dengan SLE mungkin memiliki peradangan berbagai
bagian jantung , seperti perikarditis , miokarditis , dan endokarditis .
Para endokarditis dari SLE adalah bersifat noninfective ( Libman-Sacks
endokarditis ), dan
melibatkan baik katup mitral atau katup trikuspid . Aterosklerosis juga cenderung terjadi lebih sering dan
kemajuan lebih cepat dibandingkan pada populasi umum. [13] [14] [15 ]
5.
Paru
Paru-paru dan radang pleura dapat menyebabkan pleuritis , efusi pleura , pneumonitis lupus, penyakit paru kronis
interstisial difus, hipertensi pulmonal , emboli paru , perdarahan paru , dan sindrom paru-paru menyusut.
6.
Ginjal
Painless hematuria atau proteinuria
mungkin sering menjadi gejala ginjal hanya presentasi. Gangguan ginjal akut
atau kronis dapat berkembang dengan nefritis lupus , yang mengarah ke akut atau stadium
akhir gagal ginjal . Karena pengenalan dini dan manajemen
dari SLE, stadium akhir gagal ginjal terjadi dalam waktu kurang dari 5% kasus.
Sebuah tanda histologis
membran SLE adalah
glomerulonefritis dengan "loop kawat" kelainan. Temuan ini karena endapan komplek
imun di sepanjang membran basal
glomerulus, yang mengarah
ke penampilan granular khas di immunofluorescence pengujian.
7.
Neuropsikiatri
Neuropsikiatri sindrom bisa terjadi ketika lupus
mempengaruhi pusat atau sistem saraf perifer . The American College
of Rheumatology
mendefinisikan sindrom neuropsikiatri 19 dalam lupus eritematosus sistemik. Diagnosis
sindrom neuropsikiatri bersamaan dengan SLE adalah salah satu tantangan paling sulit
dalam pengobatan, karena dapat melibatkan pola yang berbeda begitu banyak
gejala, beberapa di antaranya mungkin keliru untuk tanda-tanda penyakit menular
atau stroke.
Gangguan neuropsikiatri paling
umum orang dengan SLE miliki
adalah sakit kepala, meskipun keberadaan tertentu sakit kepala lupus dan pendekatan optimal
untuk sakit kepala dalam kasus lupus masih controversial, manifestasi
neuropsikiatri umum lainnya dari SLE termasuk disfungsi kognitif, gangguan mood, penyakit serebrovaskular, kejang, polineuropati, gangguan kecemasan, dan psikosis . Jarang sekali bisa hadir dengan sindrom
hipertensi intrakranial,
ditandai dengan peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, dan sakit kepala dengan sesekali abducens saraf paresis, adanya lesi menempati ruang-atau pembesaran
ventrikel, dan normal cairan serebrospinal kimia dan hematologi konstituen.
Manifestasi lebih jarang
adalah negara confusional akut , sindrom
Guillain-Barré, meningitis aseptik, gangguan otonom, sindrom demielinasi, mononeuropati (yang mungkin bermanifestasi sebagai multipleks
mononeuritis), gangguan gerakan (lebih spesifik, chorea), myasthenia gravis, myelopathy, tengkorak neuropati dan plexopathy.
8.
Neurologis
Gejala saraf berkontribusi
pada persentase yang signifikan dari morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan lupus. Sebagai hasilnya, sisi saraf lupus sedang dipelajari dengan
harapan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Para manifestasi saraf
lupus dikenal sebagai lupus erythematosus neuropsikiatri yang sistematis
(NPSLE). Salah satu aspek dari penyakit ini adalah kerusakan parah pada sel-sel
epitel dari penghalang darah-otak .
Lupus memiliki berbagai gejala
yang rentang tubuh. Gejala-gejala neurologis termasuk sakit kepala, depresi, kejang, disfungsi kognitif, gangguan mood, penyakit serebrovaskular, polineuropati, gangguan kecemasan, psikosis, dan dalam beberapa kasus yang ekstrim,
gangguan kepribadian. Di
daerah tertentu, depresi dilaporkan mempengaruhi hingga 60% dari wanita yang
menderita lupus.
9.
Reproduksi
SLE menyebabkan tingkat peningkatan kematian janin dalam rahim dan aborsi spontan (keguguran). Tingkat kelahiran hidup-keseluruhan pada pasien
SLE telah diperkirakan
72%. hasil Kehamilan tampaknya lebih
buruk pada pasien SLE yang
penyakit flare up selama kehamilan.
Neonatal lupus adalah terjadinya gejala-gejala lupus di bayi lahir dari seorang ibu dengan SLE, paling sering
menyajikan dengan ruam yang menyerupai lupus
eritematosus diskoid, dan
kadang-kadang dengan kelainan sistemik seperti blok jantung atau hepatosplenomegali. Lupus neonatal biasanya jinak dan diri
terbatas.
10.
Sistemik
Kelelahan pada SLE mungkin multifaktorial dan telah terkait dengan
aktivitas penyakit tidak hanya atau komplikasi seperti anemia atau
hipotiroidisme, tetapi juga untuk rasa sakit, depresi, miskin tidur yang berkualitas, miskin kebugaran fisik dan dirasakan kurangnya dukungan sosial
G.
DATA
LABORATORIUM
1. Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif
: < 70 IU/mL
Positif
: >
200 IU/mL
Antibodi ini
ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan
penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang
tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang
(dorman).
Antibodi
anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari
antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA)
dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA
kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun
yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan
penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana
and Pagana, 2002).
2.
Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal :
nol
ANA digunakan
untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang
inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya
SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA
tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit
reumatik yang lain. Jumlah ANA yang
tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA
diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif
terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium
yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka
sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa
bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm),
anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana
and Pagana, 2002).
3.
Tes Laboratorium lain
Tes
laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker
reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive
Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count
(CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase
(Pagana and Pagana, 2002).
0 komentar:
Posting Komentar