1. Pengertian
keselamatan pasien
Keselamatan pasien rumah sakit
adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. (Permenkes No.1691, 2011)
2. Pentingnya
keselamatan pasien
Pada saat ini pelayanan kesehatan sangatlah kompleks, lebih
efektif namun apabila pemberi pelayanan kurang hati-hati dapat berpotensi
terjadinya kejadian tidak diharapkan atau adverse event.
Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA)
Board of Trustees mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien
(patient safety) merupakan sebuah prioritas strategik. Mereka juga
menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur untuk medication safety sebagai
target utamanya.
Hampir
setiap tindakan medik menyimpan potensi risiko, yaitu:
a. Kesalahan
Medis (Medical Error)
Suatu kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan untuk
diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (yaitu., kesalahan tindakan) atau
perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (yaitu, kesalahan
perencanaan). Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien.
b. Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD)/ Adverse Event
Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak
diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak
bertindak (ommision), dan bukan karena “underlying disease” atau kondisi pasien
(KKP-RS).
c. Nyaris
Cedera (NC)/ Near Miss
Suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil, yang dapat mencederai pasien.
Dalam kenyataannya masalah medical
error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena
yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan
saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau
justru luput dari perhatian kita semua.
3. Aplikasi
patient safety dalam Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan
medikal bedah merupakan bentuk asuhan keperawatan pada klien dewasa yang
mengalami gangguan fisiologis baik yang sudah nyata atau terprediksi mengalami
gangguan baik karena adanya penyakit, trauma atau kecacatan. Asuhan keperawatan
meliputi perlakuan terhadap individu untuk memperoleh kenyamanan, membantu
individu dalam meningkatkan dan mempertahankan kondisi sehatnya, melakukan
prevensi, deteksi dan mengatasi kondisi berkaitan dengan penyakit, mengupayakan
pemulihan sampai klien dapat mencapai kapasitas produktif tertingginya, serta membantu
klien menghadapi kematian secara bermartabat.
Keperawatan
medikal bedah menggunakan langkah-langkah ilmiah pengkajian, perencanaan,
implementasi dan evaluasi, dengan memperhitungkan keterkaitan komponen-komponen
bio-psiko-sosial klien dalam merespon gangguan fisiologis sebagai akibat
penyakit, trauma atau kecacatan.
Penerapan Pasien Safety Goal pada pasien dewasa dilakukan
seperti pada umumya. Namun pada keperawatan medikal bedah, penerapan 6 sasaran
pasien safety dalam tindak pembedahan menjadi suatu hal terpenting.
Sasaran I :
Ketepatan Identifikasi Pasien
Kesalahan identifikasi pasien
bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami
disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah sakit,
adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Pengidentifikasi pasien
sangat penting ketika pemberian obat, transfusi darah, atau produk darah;
pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian
pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan
sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien,
nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code,
dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk
identifikasi.
Dalam pengidentifikasian pasien
(termasuk disini pasien dewasa) menggunakan gelang bar-code dengan warna-warna yang menunjukkan kondisi pasien. Biru
berarti pasien laki-laki, pink berarti pasien perempuan, kuning berarti pasien
dengan resiko jatuh, merah berarti pasien dengan resiko alergi dengan obat tertentu,
dan ungu berarti pasien yang tidak boleh dilakukan resusitasi.
Sasaran II :
Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
Komunikasi efektif dilakukan untuk meningkatkan
komunikasi antar pemberi pelayanan agar tidak terjadi kesalahan dalam
pentransferan informasi mengenai pasien.
Selain itu, komunikasi efektif antara pemberi pelayanan
kesehatan (salah satunya perawat) dengan pasien (dalam hal ini pasien dewasa)
sangatlah penting. Mengingat psikologis dan cara berpikir orang dewasa yang
lebih kompleks, komunikasi efektif sangat penting untuk membangun kenyamanan,
kepercayaan, dan privacy pasien.
Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu
Diwaspadai (High-Alert)
Penggunaan obat yang beresiko
tinggi mengalami kesalahan adalah Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look
Alike Soun Alike/LASA. Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu
keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja
(misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium
klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat).
Pada keperawatan medikal-bedah,
dengan pasien dewasa atau yang memiliki kelainan fisiologis bahkan masalah
kesehatan yang kompleks, kehati-hatian dalam pemberian obat sangatlah
diperlukan. Karena kesalahan dalam pemberian obat terhadap pasien akan
mempengaruhi perubahan status kesehatannya.
Sasaran IV : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur,
Tepatpasien Operasi
Program
Keselamatan Pasien safe surgery saves lifes sebagai bagian dari upaya
WHO untuk mengurangi jumlah kematian bedah di seluruh dunia. Tujuan dari
program ini adalah untuk memanfaatkan komitmen dan kemauan klinis untuk
mengatasi isu-isu keselamatan yang penting, termasuk praktek-praktek
keselamatan anestesi yang tidak memadai, mencegah infeksi bedah dan komunikasi
yang buruk di antara anggota tim. Untuk membantu tim bedah dalam mengurangi
jumlah kejadian ini, WHO menghasilkan rancangan berupa checklist keselamatan
pasien di kamar bedah sebagai media informasi yang dapat membina komunikasi
yang lebih baik dan kerjasama antara disiplin klinis.
Di lingkungan bangsal rumah sakit, keselamatan
dijaga dengan memperhatikan tiga hal. Pertama, dengan identifikasi pasien
secara normal dan pengenaan pita identifikasi yang tidak bisa dilepas. Informasi
personal yang rinci dan tercatat pada pita tersebut harus konsisten dengan semua dokumen.
Kedua kompilasi yang cermat pada semua kartu dan dokumen saat pasien masuk rumah sakit,
dalam masa perawatan, dan ketika pulang menjamin bahwa semua rencana serta
informasi adalah mutakhir dan keselamatan pasien tidak akan dirugikan dengan
hilangnya atau dobelnya informasi tersebut. Ketiga, pengalihan informasi yang
dilakukan dengan hati-hati antara pasien dan semua anggota tim medic serta tim
multi disiplin merupakan unsur yang esensial. Hal ini memungkinkan pasien untuk
memahami rencana asuhan keperawatannya dan juga memudahkan berlangsungnya
tindakan medis seaman mungkin.
Langkah
yang dilakukan tim bedah terhadap pasien yang akan di lakukan operasi untuk
meningkatkan keselamatan pasien selama prosedur pembedahan, mencegah terjadi
kesalahan lokasi operasi, prosedur operasi serta mengurangi komplikasi kematian
akibat pembedahan sesuai dengan sepuluh sasaran dalam safety surgery
(WHO 2008). Yaitu:
1)
Tim bedah akan
melakukan operasi pada pasien dan lokasi tubuh yang benar
2)
Tim bedah akan
menggunakan metode yang sudah di kenal untuk mencegah bahaya dari pengaruh
anestresia, pada saat melindungi pasien dari rasa nyeri.
3)
Tim bedah mengetahui
dan secara efektif mempersiapkan bantuan hidup dari adanya bahaya kehilangan
atau gangguan pernafasan.
4)
Tim bedah mengetahui
dan secara efektif mempersiapkan adanya resiko kehilangan darah.
5)
Tim bedah menghindari
adanya reaksi alergi obat dan mengetahui adanya resiko alergi obat pada pasien.
6)
Tim bedah secara
konsisten menggunakan metode yang sudah dikenal untuk meminimalkan adanya
resiko infeksi pada lokasi operasi.
7)
Tim bedah mencegah
terjadinya tertinggalnya sisa kasa dan instrument pada luka pembedahan.
8)
Tim bedah akan
mengidentifikasi secara aman dan akurat, specimen (contoh bahan) pembedahan.
9)
Tim bedah akan
berkomunikasi secara efektif dan bertukar informasi tentang hal-hal penting
mengenai pasien untuk melaksanakan pembedahan yang aman.
10) Rumah
sakit dan system kesehatan masyarakat akan menetapkan pengawasan yang rutin
dari kapasitas , jumlah dan hasil pembedahan.
Surgery
safety ceklist WHO merupakan penjabaran dari sepuluh hal penting
tersebut yang diterjemahkan dalam bentuk formulir yang diisi dengan melakukan ceklist. Surgery Safety Checklist di kamar
bedah digunakan melalui 3 tahap, masing-masing sesuai dengan alur waktu yaitu
sebelum induksi anestesi (Sign In), sebelum insisi kulit (Time Out)
dan sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi (Sign Out) (WHO 2008)
diawali dengan briefing dan diakhiri dengan debriefing menurut
(Nhs,uk 2010).
Implementasi
Surgery Safety Checklist memerlukan seorang koordinator untuk
bertanggung jawab untuk memeriksa checklist. Koordinator biasanya
seorang perawat atau dokter atau profesional kesehatan lainnya yang terlibat
dalam operasi. Pada setiap fase, koordinator checklist harus diizinkan
untuk mengkonfirmasi bahwa tim telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan
kegiatan lebih lanjut. Koordinator memastikan setiap tahapan tidak ada yang
terlewati, bila ada yang terlewati , maka akan meminta operasi berhenti sejenak
dan melaksanakan tahapan yang terlewati
Sign in
Langkah pertama yang dilakukan
segera setelah pasien tiba di ruang serah terima sebelum dilakukan induksi
anestesi. Tindakan yang dilakukan adalah memastikan identitas, lokasi/area
operasi, prosedur operasi, serta persetujuan operasi. Pasien atau keluarga
diminta secara lisan untuk menyebutkan nama lengkap, tanggal lahir dan tindakan
yang akan dilakukan. Penandaan lokasi operasi harus oleh ahli bedah yang akan
melakukan operasi. Pemeriksaan keamanan anestesi oleh ahli anestesi dan harus
memastikan kondisi pernafasan, resiko perdarahan, antisipasi adanya komplikasi,
dan riwayat alergi pasien. Memastikan peralatan anestesi berfungsi dengan baik,
ketersedian alat, dan obat-obatan.
Time out
Merupakan langkah kedua yang
dilakukan pada saat pasien sudah berada di ruang operasi, sesudah induksi
anestesi dilakukan dan sebelum ahli bedah melakukan sayatan kulit. Untuk kasus
pada satu pasien terdapat beberapa tindakan dengan beberapa ahli bedah timeout
dilakukan tiap kali pergantian operator. Tujuan dilakukan timeout adalah
untuk mencegah terjadinya kesalahan pasien , lokasi dan prosedur pembedahan dan
meningkatkan kerjasama diantara anggota tim bedah, komunikasi diantara tim
bedah dan meningkatkan keselamatan pasien selama pembedahan. Seluruh tim bedah
memperkenalkan diri dengan menyebut nama dan peran masing-masing. Menegaskan
lokasi dan prosedur pembedahan, dan mengantisipasi risiko. Ahli bedah
menjelaskan kemungkinan kesulitan yang akan di hadapi ahli anestesi menjelaskan
hal khusus yang perlu diperhatikan. Tim perawat menjelaskan ketersedian dan
kesterilan alat. Memastikan profilaksis antibiotik sudah diberikan. Memastikan
apakah hasil radiologi yang ada dan di perlukan sudah di tampilkan dan sudah
diverifikasi oleh 2 orang.
Sign Out
Merupakan tahap akhir yang dilakukan
saat penutupan luka operasi atau sesegera mungkin setelah penutupan luka
sebelum pasien dikeluarkan dari kamar operasi. Koordinator memastikan
prosedur sesuai rencana, kesesuaian jumlah alat, kasa, jarum, dan memastikan
pemberian etiket dengan benar pada bahan-bahan yang akan dilakukan pemeriksaan
patologi.
Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan
Kesehatan
Pencegahan dan pengendalian
infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan
peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional
pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan
kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood
stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan
ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi
lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat.
Dihubungkan dengan lingkup
keperawatan medikal-bedah, pengurangan resiko infeksi nasokomial (cuci tangan,
sarung tangan, hand scoon, masker, google, dll) sangatlah penting pada
penyakit-penyakit yang umum diderita pada pasien dewasa, seperti TBC, kanker,
pneumonia, HIV/AIDS, trauma/ luka terbuka kecelakaan, dll. Selain itu, salah
penurunan resiko terjadinya infeksi, salah satunya mencuci tangan termasuk
prosedur utama dan penting sebelum melakukan tindakan invasif, tindakan yang
berhubungan dengan cairan tubuh pasien, tindakan operasi, dll.
Sasaran VI :
Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Jumlah kasus jatuh cukup
bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks
populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya,
rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat
jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan,
serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program tersebut harus
diterapkan rumah sakit. Pada gelang identitas (bar-code), pasien resiko tinggi jatuh akan diberi warna kuning.
0 komentar:
Posting Komentar