2.1 Definisi
Epilepsi
merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang.
Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa
penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi
adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi
adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
Epilepsi
adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.
2.2 Epidemiologi
Pada
tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta
orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di
negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2
orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang penduduk, dengan angka
insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan
lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil penelitian Shackleton dkk
(1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang
epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk
(1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang.
2.3 Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi
sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
- Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap
penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik
epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang
didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi
tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE.
Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda,
masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan
terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam kaitannya
dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah
terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan
mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat
pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan
pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama yang
terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12
bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara
keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian
besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal
saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan.
Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi,
demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa
kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan
kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi.
Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada
otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan
fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga
memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Penyebab- penyebab kejang pada
epilepsi
|
|
Bayi (0- 2 th)
|
Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
|
Anak (2- 12 th)
|
Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
|
Remaja (12- 18 th)
|
Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
|
Dewasa Muda (18- 35 th)
|
Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
|
Dewasa lanjut (> 35)
|
Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal
hepatik, dll )
Alkoholisme
|
2.4 Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan
(impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls
motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron
ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi
dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan
dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh
belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi).
Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan
inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang
disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan
oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika
natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran
sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan
paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal
yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah,
talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di
tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1) Instabilitas membran
sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron
hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu
akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi
(polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi)
yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion
yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang
terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh
meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel
saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul
di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan
tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan
yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi
lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang
secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut
lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
2.5 WOC ( terlampir )
2.6 Klasifikasi dan Sindrom
Epilepsi pada Anak
Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi.
1.
Berkaitan dengan letak fokus
1.1.
Idiopatik (primer)
1.1.1 Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di
sentrotemporal (Rolandik benigna )
1.1.2 Epilepsi pada anak dengan paroksismal
oksipital
1.1.3 Primary reading epilepsy
1.2.
Simtomatik (sekunder)
1.2.1 Lobus temporalis
1.2.2 Lobus frontalis
1.2.3 Lobus parietalis
1.2.4 Lobus oksipitalis
1.2.5 Kronik progresif parsialis kontinua
1.3.
Kriptogenik
2.
Umum
2.1.
Idiopatik (primer)
2.1.1 Kejang neonatus familial benigna
2.1.2 Kejang neonatus benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi absans pada anak
2.1.5 Epilepsi absans pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada
saat terjaga
2.1.8 Epilepsi tonik kionik dengan serangan acak
2.2.
Kriptogenik atau simtomatik
2.2.1 Sindroma West (spasmus infantil dan
hipsaritmia)
2.2.2 Sindroma Lennox Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi absans miokionik
2.3.
Simtomatik
2.3.1 Etiologi non spesifik
-
Ensefalopati miokionik neonatal
-
Sindrom Ohtahara
2.3.2 Etiologi / sindrom spesifik
-
Malformasi serebral
-
Gangguan metabolisme
3.
Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1.
Serangan umum dan fokal
- Serangan neonatal
- Epilepsi miokionik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
3.2.
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4.
Epilepsi berkaitan dengan situasi
4.1
Kejang demarn
4.2
Berkaitan dengan alkohol
4.3
Berkaitan dengan obat-obatan
4.4
Eklamsi
4.5
Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu
sindrom. Yang dimaksud sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan
adanya sekumpulan gejala dan klinis yang terjadi bersama-sama meliputi jenis
serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, dan berat penyakit .
Dikenal 4 kelompok usia yang masing-masing mempunyai korelasi dengan sindrom
epilepsi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulan
Serangan
epilepsi pada anak berumur kurang dari 3 bulan bersifat fragmentaris, yaitu
sebagian dari manifestasi serangan epileptik seperti muscular twitching :
mata berkedip sejenak biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak,
lengan berkedut-kedut, badan melengkung / menekuk sejenak. Serangan epilepsi
disebabkan oleh lesi organik struktural dan prognosis jangka panjangnya buruk.
Kejang demam sederhana tidak dijumpai pada kelompok ini.
2. Kelompok umur 3 bulan sampai 4 tahun
Pada
kelompok ini sering terjadi kejang demam, karena kelompok ini sangat peka
terhadap
infeksi dan demam. Kejang demam bukan termasuk epilepsi, tetapi
merupakan
faktor risiko utama terjadinya epilepsi. Sindrom epilepsi yang sering
terjadi
pada kelompok ini adalah sindrom Spasme Infantile atau Sindrom West dan
sindrom
Lennox-Gestaut atau epilepsi mioklonik.
3. Kelompok umur 4 - 9 tahun.
Pada
kelompok ini mulai timbul manifestasi klinis dari epilepsi umum primer terutama
manifestasi dari epilepsi kriptogenik atau epilepsi karena fokus epileptogenik
heriditer. Jenis epilepsi pada kelompok ini adalah Petitmal, grandmal
dan Benign epilepsy of childhood with Rolandic spikes (BECRS).
Setelah usia 17 tahun anak dengan BECRS dapat bebas serangan tanpa menggunakan
obat.
4. Kelompok umur lebih dari 9 tahun.
a.
Kelompok epilepsi heriditer : BERCS, kelompok epilepsi fokal atau epilepsi
umum
lesionik.
b.
Kelompok epilepsi simtomatik : epilepsi lobus temporalis atau epilepsi
psikomotor.
Kecuali
BECRS, pasien epilepsi jenis tersebut dapat tetap dilanda bangkitan epileptik
pada kehidupan selanjutnya. Epilepsi jenis absence dapat muncul pada
kelompok ini.
Sindrom
Lennox-Gestaut.
1.
Sindrom Lennox Gestaut ( SLG ) merupakan salah satu bentuk epilepsi yang
berat, biasanya terjadi pada anak balita dan manifestasinya berupa beberapa
jenis serangan dan keterlambatan perkembangan serta pertumbuhan.
2.
SLG meliputi 3 - 11 % dari penderita epilepsi golongan anak-anak, muncul
pertama kali pada umur 1 - 14 tahun, rata-rata 3 tahun.
3.
Jenis serangan yang terdapat pada satu penderita meliputi serangan tonik,
atonik, mioklonik dan absence tidak khas. Munculnya serangan dipermudah
oleh rasa mengantuk atau bahkan tanpa rangsanganpun dapat muncul serangan.
4.
Beberapa faktor penyebab adalah 25 % bersifat kriptogenik, simtomatik meliputi
75% pada populasi, cedera kepala yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, prematuritas
dan asfiksia, infeksi otak, malformasi perkembangan otak dan penyakit metabolik
yang menyangkut otak.
Sindrom
West.
1.
Sindrom ini dikenal pula sebagai spasmus infantile. Usia awitan berkisar
3 - 12 bulan dengan puncak pada umur 4 - 7 bulan.
2.
Secara umum serangan epilepsi jenis ini dicirikan oleh serangan tonik secara
mendadak,
bilateral dan simetris.
3.
Faktor penyebab antara lain 10 - 15 % bersifat kriptogenik dan 85 - 90 %
bersifat simtomatik. Faktor prenatal meliputi infeksi intrauterin (CMV = citomegalo
virus), disgenesis serebral dan malformasi serebral, penyebab pasca natal
antara lain hipoksia serebral, trauma kepala dan infeksi (meningitis dan
ensefalitis).
2.7 Manifestasi Klinis
Menurut
Zainal
Muttaqien (2001),tanda dan gejala yang ditimbulkan dari epilepsi adalah sebagai
berikut.
a) Manifestasi klinik dapat berupa
kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
b) Kelainan gambaran EEG
c) Bagian tubuh yang kejang
tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
d) Dapat mengalami aura yaitu
suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak
enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya).
e) Napas terlihat sesak dan jantung
berdebar
f) Raut muka pucat dan
badannya berlumuran keringat
g) Satu jari atau tangan yang
bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik
seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada
keadaan normal
h) Individu terdiam tidak bergerak
atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian
tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
i) Di saat serangan,
penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba
j) Kedua lengan dan
tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang
k) Gigi geliginya terkancing
l) Hitam bola matanya
berputar- putar
m) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti
dengan buang air kecil
Zainal Muttaqien (2001) mengatakan
keadaan tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan
anatomis maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada
lingkungan sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain
oleh trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau
zat asam akibat penyempitan pembuluh darah atau adanya pendesakan/rangsangan
oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang nantinya
menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh berbagai faktor.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan
pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian,
bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis
harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir
tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan
metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi
(auto dan aloanamnesis), meliputi:
-
Pola / bentuk serangan
-
Lama serangan
-
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
-
Frekwensi serangan
-
Faktor pencetus
-
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
-
Usia saat serangan terjadinya pertama
-
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
-
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
-
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat
penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh
dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3.
Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan
EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural
di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal,apabila :
1)
Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2)
Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3)
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal.
b. Rekaman video EEG
Rekaman
EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan.
Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur
yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan
pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan
yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak
dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih
sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
2.9 Faktor-faktor Risiko Epilepsi
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala
gangguan fungsi otak yang
penyebabnya
bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui faktor
penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada
epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya
disebut epilepsi simtomatik. Pada epilepsi idiopatik diduga adanya kelainan
genetik sebagai berikut : terdapat suatu gen yang menentukan sintesis dan
metabolisme asam glutamik yang menghasilkan zat Gama amino butiric acid (GABA).
2.9.1 Faktor prenatal
a. Umur saat ibu hamil
Umur
ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan
dilahirkan. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi
kehamilan di antaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada
persalinan di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan
persalinan dapat menyebabkan prematuritas, lahir dengan berat badan kurang,
penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin
dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang
memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya
menimbulkan fokus epileptogenik.
b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi.
Ibu
yang mengalami komplikasi kehamilan seperti placenta previa dan eklamsia dapat
menyebabkan asfiksia pada bayi.16,37 Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan
primipara
atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita
epilepsi
pada anak, mendapatkan angka penyebab karena eklamsia sebesar (9%).
c. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan
persalinan dapat menyebabkan terjadinya epilepsi. Insiden epilepsi
ditemukan
lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada
primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan (
partus lama, persalinan dengan alat, kelainan letak ) dapat terjadi juga pada
kehamilan multipara ( kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali).
Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat
berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem
otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai
manifestasi klinisnya.
d. Pemakaian bahan toksik
Kelainan
yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti ibu
menelan
obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan
epilepsi. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti
ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan risiko kerusakan
janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya placenta
previa. Placenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau
persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesaria. Keadaan ini
dapat menyebabkan trauma
lahir
yang berakibat terjadinya epilepsi.
2.9.2 Faktor natal
a.
Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia
perinatal atau perdarahan intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat
gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan
lesi pada daerah hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik.
Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak.
Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan epilepsi, baik pada stadium akut dengan
frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya
asfiksia berlangsung. Bangkitan epilepsi biasanya mulai timbul 6-12 jam setelah
lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 - 24 jam bangkitan epilepsi
menjadi lebih sering dan hebat. Pada kasus ini prognosisnya kurang baik. Pada
75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis, di antaranya
epilepsi. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na
intraseluler sehingga terjadi udem otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia
adalah inti-inti pada batang otak, talamus, dan kollikulus inferior, sedangkan
terhadap iskemia adalah "watershead area" yaitu daerah
parasagital hemisfer yang mendapat vaskularisasi paling sedikit.
b.
Berat badan lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah ( BBLR ) adalah
bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan
asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak dapat
menyebabkan terbentuknya fokus epilepsi. Bayi dengan BBLR dapat mengalami
gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat
menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat
menyebabkan epilepsi pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama
melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500 gram dapat terjadi perdarahan
intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi.
c.
Kelahiran Prematur atau Postmatur
Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang
dilahirkan sebelum 37 Minggu dari hari pertama menstruasi terakhir.42 Pada bayi
prematur, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga sebelum
berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi pada 50% bayi
prematur. Hal ini disebabkan karena sering menderita apnea, asfiksia berat dan
sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini
menyebabkan aliran darah ke otak bertambah. Bila keadaan ini sering timbul dan
tiap serangan lebih dari 20 detik maka, kemungkinan timbulnya kerusakan otak
yang permanen lebih besar. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara lain di
hipokampus. Oleh karena itu setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas.
Bayi yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dari 42
minggu merupakan bayi postmatur. Pada keadaan ini akan terjadi proses penuaan
plesenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang
dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tak stabil,
hipoglikemia dan kelainan neurologik.
d.
Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12
jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13
jam dan Kala II : 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida, kala I: 7 jam dan kala
II : 1-5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya
cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan
hipoksi dapat berupa epilepsi.16,42
e.
Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, seksio sesaria ).
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan
bantuan alat dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik
pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural,
subaraknoid dan perdarahan intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama
bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan
perdarahan subdural. Perdarahan subaraknoid dapat terjadi pada bayi prematur
dan bayi cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau
udem otak; keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi
sebagai manifestasi klinisnya.
f.
Perdarahan intrakranial
Perdarahan intrakranial dapat merupakan akibat
trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer
atau anomali kongenital Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat
bermanifestasi sebagai perdarahan subdural, subarakhnoid, intraventrikuler /
periventrikuler atau intraserebral. Perdarahan subdural biasanya berhubungan
dengan persalinan yang sulit terutama
terdapat
kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena
laserasi dari vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan
memberikan gejala kejang-kejang.
2.9.3 Faktor postnatal
a.
Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi
pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium. Anak-anak yang mengalami kejang demam tersebut tidak
mengalami infeksi susunan pusat atau gangguan elektrolit akut. Umumnya anak
yang mengalami kejang demam berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, paling
sering usia 18 bulan. Berapa batas umur kejang demam tidak ada kesepakatan, ada
kesepakatan yang mengambil batas antara 3 bulan sampai 5 tahun, ada yang yang menggunakan
batas bawah adalah 1 bulan. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari
1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Awitan di atas 6 tahun
sangat
jarang.
Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip
oleh Suwitra dan Nuradyo, kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui
mekanisme sebagai berikut.
1.
Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan DNA dan
protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini dapat
menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan
inhibisieksitasi, sehingga mempermudah timbulnya kejang.
2.
Kejang
yang berulang akan mengakibatkan kindling efect sehingga rangsang
dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.
3.
Kejang
demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otak mengalami sklerosis,
sehingga terbentuk fokus epilepsi.
4.
Kejang
demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik berupa amoniak dan
radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron.
5.
Kejang
demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa, oksigen, dan aliran
darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya neuron menjadi rusak.
b.
Trauma kepala/ cedera kepala
Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang
dapat bersifat akut dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan
dampak yang muncul dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik parese
nervus cranialis, serta cerebral palsy dan retardasi mental. Dampak
yang tidak nyata memberikan gejala sisa berupa jaringan sikatrik, yang tidak
memberikan gejala klinis awal namun dalam kurun waktu 3 - 5 tahun akan menjadi
fokus epilepsi.
c.
Infeksi susunan saraf pusat.
Risiko akibat serangan epilepsi bervariasi sesuai
dengan tipe infeksi yang terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk
perkembangan epilepsi akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung
bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus
berat seringkali mengakibatkan terjadinya epilepsi. Di negara-negara barat
penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang
lobus temporalis. Epilepsi yang timbul berbentuk serangan parsial kompleks
dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi
virus ini dapat juga menyebabkan gangguan daya ingat yang berat dan kombinasi
epilepsi dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat
terjadi sekuele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebal palsy,
retardasi mental, hidrosefalus dan defisit N. kranialis serta epilepsi. Dapat
pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatriks pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsi, yang dalam
kurun waktu 2 - 3 tahun kemudian menimbulkan epilepsi.
d.
Epilepsi akibat toksik
Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik
seperti Co, Cu, Pb dan lainnya dapat memacu terjadinya kejang . Beberapa jenis
obat dapat menjadi penyebab epilepsi, yang diakibatkan racun yang dikandungnya
atau adanya konsumsi yang berlebihan. Termasuk di dalamnya alkohol, obat anti
epileptik, opium, obat anestetik dan anti depresan. Penggunaan barbiturat dan
benzodiazepine dapat menyebabkan serangan mendadak pada orang yang tidak
menderita epilepsi. Serangan terjadi setelah 12 – 24 jam setelah mengkonsumsi
alkohol. Sedangkan racun yang ada pada obat dapat mengendap dan menyebabkan
serangan epilepsi.
e.
Gangguan Metabolik
Serangan epilepsi dapat terjadi dengan adanya
gangguan pada konsentrasi serum glokuse, kalsium, magnesium, potassium dan
sodium. Beberapa kasus hiperglikemia yang disertai status hiperosmolar non
ketotik merupakan faktor risiko penting penyebab epilepsi di Asia, sering kali
menyebabkan epilepsi parsial.
2.9.4 Faktor heriditer ( keturunan )
Faktor
herediter memiliki pengaruh yang penting terhadap beberapa kasus epilepsi, Bila
seseorang mengidap epilepsi pada masa kecilnya, maka saudara kandungnya juga
memiliki risiko tinggi menderita epilepsi. Demikian pula pada anak-anak yang
akan dilahirkan. Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi primer
kurang lebih 4%. Bila orang tua dan salah satu anaknya sama-sama mengidap
epilepsi primer, maka anak yang lain berpotensi terkena epilepsi sebesar 10%.
Pada penderita epilepsi parsial yang telah diketahui penyebab penyakitnya, juga
mempunyai probabilitas untuk terkena pengaruh faktor heriditer. Serangan
epilepsi lebih banyak terjadi pada anggota keluarga penderita epilepsi akibat
trauma kepala dibanding anggota keluarga yang tidak ada penderita epilepsinya. Salah
satu bentuk epilepsi parsial yang dipengaruhi oleh faktor genetik adalah Benign
Rolandic Epilepsy.
2.10 Penatalaksanaan
Manajemen Epilepsi :
a) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi
etiologi dari epilepsi
b) Melakukan terapi simtomatik
c) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu
diingat sasaran pengobatan yang dicapai, yakni:
-
Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
-
Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
-
Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.
Pengendalian epilepsi dengan obat
dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada empat obat yang ternyata
bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital,
dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari
obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a) Berikan privasi dan
perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b) Mengamankan pasien di
lantai jika memungkinkan
c) Hindarkan benturan
kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan
ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan bajunya. Bila
mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan
pernapasan.
e) Biarkan kejang
berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat
mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat
diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan
pernapasannya.
f) Ajarkan
penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut
"aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan
bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi
yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya
berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung
beristirahat atau tidur.
g) Bila serangan
berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke
dokter atau rumah sakit terdekat.
2. Setelah Kejang
a) Penderita akan
bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b) Pertahankan pasien
pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan napas paten.
c) Biasanya terdapat
periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d) Periode apnea pendek dapat
terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
e) Pasien pada saaat
bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f) Beri penderita
minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan penderita
beristirahat.
g) Jika pasien mengalami
serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani situasi dengan
pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
h) Laporkan adanya
serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian pengobatan oleh
dokter.
2.11 Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan
tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi
muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma
atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh)
yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai
resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan,
pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan
dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan
persalinan.
2.12 Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah
pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk
mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang
lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance)
seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40%
anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan
etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat
pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan
secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan
tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan
berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak,
ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental.
Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa
berlangsung seumur hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder,
obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin.
Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan
asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan
obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas
tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping,
maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih
AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam
neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi
potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya
Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na .
Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga
menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas
sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat
hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl-
pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang
potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital
menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran
Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin,
fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na .
Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara
memblokade saluran Ca peka voltase.
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara
menghambat GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim
pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.
VPA bekerja pada saluran Na peka voltase,
dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron.
VPA memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari
neuron thalamus.
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak,
menghambat saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan
GABA.
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka
voltase.
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na ,
menambah kerja hambat dari GABA.
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara
memblokir uptake-nya.
Selain
pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka
panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin,
primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan
fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat,
mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan
neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan
hiperandrogenisme.
0 komentar:
Posting Komentar